Monday 29 July 2013

LAILATUL QADAR

0 comments

Lailatul qadar atau malam al-qadar jatuh pada 10 terakhir ramadhan. Pada malam itu Al-Quran diturunkan. Sebagaimana yang dipaparkan dalam surah Al-Qadr berikut:

 

lailatulqadar

 

Yang bermaksud: Sesungguhnya Kami telah menurunkan (Al-Quran) ini pada Malam Lailatul-Qadar, Dan apa jalannya engkau dapat mengetahui apa dia kebesaran Malam Lailatul-Qadar itu? Malam Lailatul-Qadar lebih baik daripada seribu bulan. Pada Malam itu, turun malaikat dan Jibril dengan izin Tuhan mereka, kerana membawa segala perkara (yang ditakdirkan berlakunya pada tahun yang berikut); Sejahteralah Malam (yang berkat) itu hingga terbit fajar! (Surah Al-Qadr: 1-5)

 

AMALAN SEPULUH HARI TERAKHIR RAMADHAN


Secara ringkasnya, pada hari terakhir Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam menjauhkan diri dari menggauli isteri-isterinya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.


Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:


إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ

“Apabila masuk sepuluh (hari terakhir bulan Ramadhan) baginda mengencangkan kainnya (yakni tidak menggauli isteri-isterinya), menghidupkan malamnya dan membangunkan keluarganya (dari tidur).” (Hadis riwayat Bukhari, no: 1884)


Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:


“Ya Rasulullah, apa pendapatmu jika aku tahu malam Lailatul Qadar, apa yang akan aku ucapkan?” Baginda menjawab: “Ucapkanlah:


اللَّهُمَّ إِنَّكَ عُفُوٌّ كَرِيمٌ تُحِبُّ الْعَفْوَ فَاعْفُ عَنِّي

“Ya Allah Engkau Maha Pengampun dan mencintai orang yang meminta ampun, maka ampunilah aku.” (Hadis riwayat Tirmizi, no: 3706. Ibn Majah, no: 3850. Berkata Tirmizi: Abu ‘Isa berkata hadis ini hasan sahih. Menurut Al-Albani hadis ini sahih)


Pada sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan juga Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam beriktikaf, sehinggalah baginda wafat. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha meriwayatkan:


أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ

“Bahawasanya Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam beriktikaf pada sepuluh terakhir dari bulan Ramadhan sehinggalah baginda wafat, kemudian isteri-isterinya (meneruskan) iktikaf setelahnya.” (Hadis riwayat Bukhari, no: 1886. Muslim, no: 2006)


Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha juga berkata:


كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَجْتَهِدُ فِي الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ مَا لا يَجْتَهِدُ فِي غَيْرِهِ

“Adalah Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam bersungguh-sungguh pada sepuluh akhir (Ramadhan), apa yang tidak pernah baginda bersunguh-sungguh pada selainnya (yakni selain waktu tersebut).” (Hadis riwayat Muslim, Tirmizi, Ibn Majah dan Ahmad. Silsilah As-Sahihah, no: 2123)

 

Semoga kita diberi kekuatan untuk mendapatkan malam yang istimewa ini dalam keadaan melakukan amalan ketaatan dan amal soleh. Mudah-mudahan amalan itu kelak akan memberatkan neraca timbangan amalan kebaikan kita dan menjadi bekalan kita agar dengan rahmat Allah kita dimasukkan ke dalam syurgaNya yang abadi. Amin ya Rabbal ‘Alamin.

Hukum Ucapan “Aku Mencintaimu Kerana Allah” Kepada Lawan Jenis Yang Bukan Mahram

0 comments

Fatwa Syaikh Khalid Al Mushlih

Soal:

Bolehkah seorang wanita mengatakan inni uhibbuka fillah (“Aku mencintaimu kerana Allah”) kepada laki-laki ajnabi yang bukan mahram-nya?

Jawab:

Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang.

Tidak diperbolehkan seorang wanita mengatakan “Aku mencintaimu karena Allah” kepada laki-laki ajnabi yang bukan mahram-nya, baik itu disampaikan melalui lisan maupun tulisan. Betapapun bagusnya ilmu & agama yang ada pada laki-laki tersebut maka hukumnya tetap terlarang. Karena wanita yang beriman dilarang untuk merendahkan suaranya ketika berbicara kepada laki-laki asing yang bukan mahram-nya. Dalam al-Qur’an Allah subhanahu wa ta’ala berfirman kepada wanita-wanita yang paling sempurna keimanannya:

يَا نِسَاءَ النَّبِيِّ لَسْتُنَّ كَأَحَدٍ مِنَ النِّسَاءِ إِنِ اتَّقَيْتُنَّ فَلا تَخْضَعْنَ بِالْقَوْلِ فَيَطْمَعَ الَّذِي فِي قَلْبِهِ مَرَضٌ وَقُلْنَ قَوْلاً مَعْرُوفاً

Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya dan ucapkanlah perkataan yang baik” (QS. Al-Ahzab : 32).

Ibnul ‘Arabi menjelaskan dalam kitab tafsirnya, Ahkamul Qur’an (586/3) : “Dalam ayat ini Allah memerintahkan istri-istri Nabi agar mereka berbicara dengan perkataan yang baik, jelas, dan tidak menimbulkan sangkaan yang tidak-tidak di hati orang yang mendengarnya, dan Allah juga memerintahkan mereka agar senantiasa mengatakan perkataan yang ma’ruf”.

Demikianlah Allah melarang istri-istri Nabi dari berkata-kata lembut yang dapat mengundang syahwat padahal mereka adalah ummahatul mukminin. Lembut disini mencakup lembut dalam konten kata-katanya maupun lembut dalam sikap dan penuturan katanya. Larangan Allah ini berlaku untuk seluruh wanita beriman dan larangan kepada selain istri-istri Nabi tentu lebih ditekankan lagi. Karena sesungguhnya syahwat yang ada pada mereka lebih bisa mendekatkan mereka kepada perbuatan zina. Maka hendaknya seorang wanita yang beriman tidak melembutkan kata-katanya dan tidak mendayu-dayukannya ketika berbicara dengan laki-laki ajnabi yang bukan mahramnya. Karena hal itu lebih bisa menjauhkan mereka dari persangkaan yang tidak-tidak dan keinginan untuk berbuat buruk.

Adapun hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud dari sahabat Anas bin Malik, beliau berkata:

أن رجلاً كان عند النبي صلى الله عليه وسلم فمر به رجل فقال: يا رسول الله إني لأحب هذا، فقال له النبي صلى الله عليه وسلم: أعلمته؟ قال: لا، قال: أعلمه، قال: فلحقه فقال: إني أحبك في الله، فقال: أحبك الذي أحببتني له

Bahwasanya ada seorang sahabat yang sedang berada di sisi Nabi shāllallahu ‘alaihi wa alihi wasallam, kemudian seseorang lewat di hadapan mereka. Lantas sahabat ini mengatakan: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku benar-benar mencintai orang ini”. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun berkata kepadanya: “Apakah engkau telah memberitahukan rasa cintamu kepadanya?” Ia berkata: “Belum.” Beliau berkata: “Jika demikian, pergilah dan beritahukan kepadanya”. Maka ia langsung menemui orang itu dan mengatakan “Inni uhibbuka fillah” (sesungguhnya aku mencintaimu karena Allah), lalu orang tersebut menjawab: “Ahabbakalladzi ahbabtani lahu” (Semoga Allah mencintaimu, Dzat yang telah menjadikanmu mencintai aku karena-Nya).

Hadist ini diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya dan Abu Dawud dalam Sunan-nya. Hadist ini juga diriwayatkan oleh ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam. Dalam riwayat Ath-Thabrani terdapat tambahan: “kemudian sahabat ini kembali menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan menceritakan jawaban orang tersebut kepada beliau. Mendengar cerita sahabat ini Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pun bersabda: “engkau akan bersama dengan orang yang kau cintai dan untukmu pahala atas apa yang kau harapkan dari rasa cintamu itu”. Hadist ini dinilai shahih oleh Al-Hakim dan Ibnu Hibban dan disetujui oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Mustadrak (189/4).

Hadits di atas tidak menunjukkan bolehnya seorang wanita mengungkapkan perkataan “Aku mencintaimu karena Allah” kepada laki-laki ajnabi yang bukan mahram-nya, demikian juga sebaliknya. Hadist ini hanya berlaku untuk sesama jenis, laki-laki dengan laki-laki dan perempuan dengan perempuan selama aman dari fitnah dan tidak menimbulkan persangkaan yang tidak-tidak di hati keduanya. Hal ini sebagaimana diisyaratkan oleh Al-Munawi dalam Faidhul Qadir (247/1), beliau berkata: “Apabila seorang wanita memiliki perasaan cinta (baca: simpati) kepada wanita lain maka hendaknya dia beritahukan kepadanya”.

Maka tidak diperbolehkan seorang laki-laki mengatakan “Aku mencintaimu karena Allah” kepada seorang wanita kecuali jika wanita tersebut adalah istrinya atau mahram-nya yang lain. Dan tidak pernah kita jumpai satupun dari para sahabiyah Nabi yang mengatakan ungkapan tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam padahal Allah telah menjadikan kecintaan kepada beliau sebagai sebuah kewajiban atas orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan. Demikian juga, tidak pernah kita jumpai riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah mengatakan ungkapan tersebut kepada salah seorang dari mereka.

Semoga Allah senantiasa menjaga agama kita dan menganugerahkan kepada kita petunjuk. Hanya kepada-Nya lah kita meminta. Aamiin.

Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/39089

Diambil dari: http://muslimah.or.id/akhlak-dan-nasehat/hukum-ucapan-aku-mencintaimu-karena-allah-kepada-lawan-jenis-yang-bukan-mahram.html

Tuesday 12 March 2013

Wahai Wanita, Tetaplah Berada Di Dalam Rumahmu...

0 comments

Isteri yang solehah beriman terhadap perintah Allah Ta'ala untuk tinggal di dalam rumahnya. Sebagaimana firmanNya:

وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ

Maksudnya: “Dan hendaklah kamu tetap diam (berada) di rumah kamu.” (Al Ahzaab: 33)
Ayat di atas ini merupakan perintah agar para wanita tetap tinggal di dalam rumah. Walaupun pada asalnya ayat ini ditujukan kepada para isteri Nabi s.a.w, namun wanita selain mereka juga tergolong dalam ayat ini dari segi maknanya.
Gambar Hiasan

Syariat telah menerangkan agar para wanita tinggal di rumah mereka dan menahan diri dari keluar rumah kecuali kerana suatu perkara yang mustahak atau darurat. Allah Ta’ala memerintahkan kepada para isteri Nabi s.a.w untuk tetap tinggal di rumah-rumah mereka dan ayat tersebut ditujukan kepada mereka secara langsung adalah sebagai bentuk penghormatan kepada mereka.

Ibnu Katsir berkata di dalam Tafsirnya (3/482): “Tetaplah kamu di dalam rumah kamu, janganlah keluar tanpa ada keperluan, di antara keperluan yang syar’i adalah solat di masjid dengan berbagai syaratnya.”

Muhammad bin Siriin berkata: “Saya diberitahu bahawa Saudah (isteri Nabi) pernah ditanya, “Kenapa kamu tidak pergi haji dan juga tidak pergi umrah seperti yang dilakukan oleh saudari-saudarimu?” Dia menjawab, “Saya sudah pernah melakukan haji dan juga pernah melakukan umrah, Allah Ta’ala memerintahkan untuk tetap tinggal di rumahku. Demi Allah, saya tidak akan keluar dari rumahku sehingga mati.”

Muhammad bin Sirin berkata: “Demi Allah, dia tidak pernah keluar dari pintu rumahnya hingga dia keluar dalam keadaan sudah menjadi jenazah.”

Ibnul Arabi -semoga Allah merahmatinya- berkata: “Sungguh saya telah memasuki beribu-ribu kampung, dan belum pernah saya melihat para wanita yang lebih menjaga keluarganya dan menjaga harga dirinya dari pada wanita negeri Nablus, suatu negeri yang Nabi Ibrahim pernah dilemparkan ke dalam api. Saya pernah tinggal di negeri tersebut dan saya tidak pernah melihat seorang perempuan pun di jalanan pada siang hari kecuali pada hari Jumaat, mereka keluar ke masjid pada hari Jumaat hingga masjid-masjid pun penuh sesak dengan mereka. Apabila telah selesai solat maka mereka segera kembali ke rumah mereka dan saya tidak melihat seorang perempuan pun sehinggalah pada hari Jumaat berikutnya.”

Al-‘Allamah Kamaluddin Al-Adhami -semoga Allah merahmatinya- berkata: “Tetap tinggal di rumah bagi seorang wanita adalah pintu kebaikan, yang memasukinya akan aman kehormatannya, jiwanya, hartanya, agamanya dan kemuliaannya. Rumah adalah tempat yang paling mulia untuk menjaga harga diri dan kehormatan, kerana dia dapat menunaikan kewajiban rumah tangganya, dapat memenuhi hak suami dan anak-anaknya serta menjalankan ajaran agamanya tanpa disibukkan dengan berbagai kesibukan di luar rumah. Bahkan dia mempunyai waktu lapang untuk tetap beribadah, membaca buku-buku agama dan mempelajari akhlak yang mulia.”

Ketika itulah dia dapat menikmati kelazatan hidup, dia juga akan menyedari bahawa kebahagiaan telah menyelimutinya. Bagaimana tidak, Tuhannya telah redha kepadanya, suaminya merasa puas dengannya kerana dia menjalankan semua yang menjadi kewajibannya. Kebahagiaan mana lagi yang lebih besar bagi seorang wanita daripada mendapat keredhaan Tuhannya serta kepuasan suaminya. 

Sungguh sangat berbeza dengan seorang wanita yang suka keluar dari rumahnya, wanita yang tidak tahan tinggal di rumahnya walaupun sesaat. Bahkan dia lebih suka pergi kesana kemari baik malam mahupun siang hari. Berkumpul dan bercampur dengan semua orang tanpa melihat adakah itu mahram atau bukan, halal atau haram. Apabila pulang ke rumah sahaja, maka kepalanya menjadi penuh dengan berbagai macam tuntutan dan permintaan kerana pengaruh apa yang dilihat dan disaksikannya. Lalu dia meminta wang kepada suaminya namun terkadang keadaan suaminya tidak mampu memenuhi permintaannya. Maka mulalah menyala api perselisihan di antara keduanya. Sehingga urusan rumahnya, pendidikan anak-anaknya tidak dipedulikan lagi, bahkan sampai meninggalkan kewajiban terhadap Tuhannya juga terhadap suaminya. Dia pun melecehkan buku-buku agama dan adabb jika dia boleh membaca dan menulis. Bahkan dia lebih menumpukan untuk membaca buku-buku murahan dan buku-buku yang tidak sopan. Apabila dinasihati oleh suaminya, malah dia menyerang semula dengan mencaci dan mencelanya seakan-akan bangga dengan dosa yang telah dilakukannya. -Semoga Allah memelihara kita dari perkara tersebut.-
Allah Ta’ala telah berfirman,

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

“Dan sesiapa yang berpaling ingkar dari ingatan dan petunjukKu, maka sesungguhnya adalah baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan himpunkan dia pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (Thaha: 124)

Mereka yang berpaling ingkar dari perintah Tuhannya, pasti merasakan kesempitan dunianya, tidak tahu arah ke mana hala tujunya, tidak merasakan ketenangan dan ketenteraman dengan apa yang dikurniakan kepadanya. Sebaliknya, mereka yang sentiasa mentaati segala perintahNya dan bersyukur terhadap apa yang telah diberikan kepada dirinya berupa nikmat-nikmat Allah yang sangat banyak, maka pasti dia akan merasakan ketenteraman dan keluasan dari Allah Ta'ala Tuhan yang menciptakannya.

Pengaruh negatif keluar dari rumah dan tidak menetap di dalamnya yang pertama kali terlihat adalah wujudnya sikap melecehkan dan meremehkan kenikmatan yang ada pada dirinya, menganggap suaminya dengan sebelah mata kerana dia melihat pada sisi kehidupan yang lebih baik dari apa yang dialaminya sekarang. Maka mulalah dia mencela suaminya, apatah lagi jikalau suaminya telah berumur atau ketika terlewat memberikan nafkah. Maka dari situlah bermulanya bibit pertengkaran dan perselisihan yang terkadang boleh menyebabkan berlakunya perceraian, dan pada ketika itulah rumah tangganya menjadi retak dan hidupnya menjadi hancur. -Semoga Allah melindungi kita dari perkara tersebut.-

Perempuan yang tetap tinggal di rumahnya, akan terlihat yang dia berada dalam kemuncak kenikmatan serta sentiasa berdampingan dengan suaminya. Matanya pula tidak terarah kepada selain suaminya, tidak pula mengingkari kenikmatan yang diberikan oleh suaminya walaupun sedikit. Syaitan juga tidak mampu untuk mencelah dan menciptakan perselisihan di antara keduanya. Kedua-duanya bahagia hidup bersama dan saling redha-meredhai, semuanya itu adalah berkat dari seorang perempuan tetap tinggalnya di rumahnya.

Islam menghendaki seorang isteri solehah berada dalam keadaan yang sangat baik, jauh dari sebarang keraguan dan kesamaran (syubhat).

Oleh kerana itu, apabila sememangnya terdapat keperluan yang mendesak untuk keluar dari rumah maka hendaklah dia keluar dengan memakai pakaian yang menutup aurat, berjalan dengan penuh sopan, menundukkan pandangan dan menghindari bahagian tengah jalan.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a dia berkata, Rasulullah s.a.w bersabda:

لَيْسَ لِلنِّسَاءِ وَسَطُ الطَّرِيْقِ

“Tidak boleh bagi wanita berjalan di jalan bahagian tengah.” (HR. Ibnu Hibban 7/447, Ad-Daulabi 1/45, dan Al -Baihaqi 7821, 7823)

Wanita solehah berjalan di bahagian tepi (pinggir) jalan bukan di tengahnya, kerana berjalan di tengah jalan merupakan sebab dirinya menjadi sasaran pandangan kaum lelaki, lalu jalannya tersebut dapat menghilangkan kewibawaan diri dan kehormatannya.

Bagi wanita yang berjalan di pinggir jalan dan menghindari dari bahagian tengahnya, maka dia telah mengurangi tanggapan serta pandangan lelaki dan menjauhkan penilaian negatif terhadap dirinya. Dia keluar dari rumahnya dengan memakai hijabnya, berjalan dengan penuh penghormatan, jauh dari segala perkara yang boleh mendatangkan syubhat.
Hadis ini bukanlah seperti yang disangkakan oleh sebahagian besar muslimah bahawa maksud dari hadis ini adalah membatasi ruang gerak seorang perempuan atau mengurangi peranannya, sesungguhnya maksudnya adalah untuk mengatur bagaimana seorang perempuan keluar dari rumahnya.

Hukum asal bagi seorang perempuan adalah dengan tinggal di rumahnya, memikirkan urusan rumahnya dan tidak keluar kecuali dalam keadaan darurat sahaja. Kalaulah seorang perempuan ingin bekerja maka hendaklah bekerja dengan pekerjaan yang dibolehkan oleh syariat sahaja, iaitu berupa pekerjaan-pekerjaan yang memang khusus bagi kaum hawa.

Adapun seorang perempuan keluar dari rumahnya dengan berpenampilan tabarruj (berdandan dan tidak menutup aurat), berkeliaran di jalan-jalan, bercampur-baur dengan lelaki dengan anggapan bahawa dia sedang bekerja dan berusaha, maka perkara ini memerlukan akal yang panjang. Seorang perempuan mestilah muhasabah diri dan menimbang-nimbang pekerjaannya. Kemanakah perginya agamanya saat dia sedang berbual-bual dengan lelaki dalam perkara yang tidak ada hubungan dengan pekerjaanya?

Bahkan kemana perginya pekerjaan yang sepatutnya seseorang wanita perlu berlomba-lomba untuk mendapatkannya, kemudian dengan pekerjaan itu dapat memberikan manfaat kepada anak-anak generasi kaum muslimin atau untuk kaum hawa sejenisnya?

Sesungguhnya seorang isteri pada ketika ini menganggap bahawa pekerjaan merupakan sarana untuk mencukupi dirinya dan dunianya, menurut kadar pemahaman agamanya yang lemah.
Bagaimana pula keadaanmu wahai wanita muslimah?

Andai Rasulullah s.a.w melihat keadaan wanita pada ketika ini dan melihat perbuatan mereka yang sia-sia di jalanan juga melihat pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan oleh wanita pada ketika ini, apakah yang akan dikatakan oleh Baginda s.a.w ?!!

Aisyah r.a berkata: “Andai Rasulullah s.a.w melihat apa yang dilakukan oleh para wanita ketika ini, tentulah baginda tidak akan mengizinkan mereka untuk keluar, yakni keluar ke masjid untuk solat.”

Perkataan baginda di atas ini diucapkan tidak lama setelah kewafatan Rasulullah s.a.w, justeru bagaimana keadaan para wanita pada zaman kita ini yang sangat jauh dari zaman Nabi s.a.w dan telah berlalu lebih kurang lima belas abad dari masa baginda?!

Renungkanlah dan fikir-fikirkanlah bersama...
 
Copyright © AL-MUWAHHIDAH
Blogger Theme by BloggerThemes | Theme designed by Jakothan Sponsored by Internet Entrepreneur